Aku segera memasuki gedung fakultasku, di sana lorong-lorong sudah gelap hanya diterangi beberapa lampu downlight, sehingga suasananya remang-remang, terkadang timbul perasaan ngeri di gedung tua itu sepertinya hanya aku sendirian, bahkan suara, langkah kakiku menaiki tangga pun menggema. Akhirnya sampai juga aku di tingkat 4 dimana pengumuman hasil ujian dan jadwal SP dipasang.
Ketika aku sedang melihat hasil UTS-ku dari lantai bawah sekonyong-konyomg terdengar langkah pelan yang menuju ke sini. Sadar atau tidak kurasakan bulu kudukku berdiri dan membayangkan makhluk apa yang nantinya akan muncul.
Ah konyol, kubuang pikiran itu jauh-jauh, youjizz hantu mana mungkin terdengar bunyi langkahnya. Suara langkah itu makin mendekat dan akhirnya kulihat sosoknya, oohh, ternyata lain dari yang kubayangkan, yang muncul ternyata seorang gadis cantik.
Aku pun mengenalnya walaupun tidak kenal dekat, dia adalah mahasiswi yang pernah sekelas denganku dalam salah satu mata kuliah, namanya Cicik, orangnya tinggi langsing, pahanya jenjang dan mulus, buah dadanya pun membusung indah, kuperkirakan ukurannya 34B, dipercantik dengan rambut panjang kemerahan yang dikuncir ke belakang dan wajah oval yang putih mulus. Dia juga termasuk salah satu bunga kampus.
«Hai.. sore, mau lihat nilai ya?» tanyaku berbasa-basi.
«Iya, kamu juga ya?» jawabnya dengan tersenyum manis.
Aku lalu meneruskan mencatat jadwal SP, sementara dia sedang mencari-cari NRP dan melihat hasil ujiannya.
«Sori, boleh pinjam bolpoin dan kertas? gua mau catat jadwal nih,» tanyanya.
«Ooo, boleh, boleh gua juga udah selesai kok,» aku lalu memberikannya secarik kertas dan bolpoinku.
«Eh, omong-omong kamu kok baru datang sekarang malam-malam gini, nggak takut gedungnya udah gelap gini?» tanyaku.
«Iya, sekalian lewat aja kok, jadi mampir ke sini, kamu sendiri juga kok datang jam segini?»
«Sama nih, gua juga baru pulang dari teman dan lewat sini, jadi biar sekali jalanlah.»
Kami pun mulai mengobrol, dan obrolan kami makin melebar dan semakin akrab. Hingga kini belum ada seorang pun yang terlihat di tempat kami sehingga mulai timbul pikiran kotorku terlebih lagi hanya ada sepasang pria dan wanita dalam tempat remang-remang.
Aku mulai merasakan senjataku menggeliat dan mengeras. Kupandangi wajah cantiknya, wajah kami saling menatap dan tanpa sadar wajahku makin mendekati wajahnya
Ketika semakin dekat tiba-tiba wajahnya maju menyambutku sehingga bibir kami sekarang saling berpagutan. Tanganku pun mulai melingkari pinggangnya yang ramping. Sekarang mulutnya mulai membuka dan lidah kami saling beradu, rupanya dia cukup ahli juga dalam berciuman, nampaknya ini bukan pertama kalinya dia melakukannya.
Wangi parfum dan desah nafasnya yang sudah tidak beraturan meningkatkan gairahku untuk berbuat lebih jauh, tanganku kini mulai turun meremas-remas pantatnya yang montok dan berisi, dia juga membalasnya dengan melepas kancing kemejaku satu persatu. Tiba-tiba aku sadar sedang di tempat yang salah, segera kulepas ciumanku.
«Jangan di sini, gua tau tempat aman, ayo ikut gua!»
Kuajak dia ke lantai 3, kami menelusuri koridor yang remang-remang itu menuju ke sebuah ruangan kosong bekas ruangan mahasiswa pecinta alam, sejak team pecinta alam pindah ke ruang lain yang lebih besar ruangan ini dikosongkan hanya untuk menyimpan peralatan bekas dan sering tidak dikunci.
Kubuka pintu dan kutekan saklar di tembok, ruangan itu hampir tidak ada apa-apa, hanya sebuah meja dan kursi kayu jati yang sandarannya sudah bengkok, beberapa perkakas usang, dan sebuah matras bekas yang berlubang.
Segera setelah tombol kunci kutekan, kudekap tubuhnya yang sedang bersandar di tepi meja. Sambil berciuman tangan kami saling melucuti pakaian masing-masing. Setelah kulepas tank top dan branya, kulihat tubuh putih mulus dengan payudara kencang dan putingnya yang kemerahan.
Saat itu aku dan dia sudah topless tinggal memakai celana panjang saja. Kuarahkan mulutku ke dada kanannya sementara tanganku melepas kancing celananya lalu mulai menyusup ke balik celana itu.
Kurasakan kemaluannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan sudah becek oleh cairan kenikmatan. Puting yang sudah menegang itu kusapu dengan permukaan kasar lidahku hingga dia menggelinjang-gelinjang disertai desahan.
Dengan jari telunjuk dan jari manis kurenggangkan bibir kemaluannya dan jari tengahku kumainkan di bibir dan dalam lubang itu membuat desahannya bertambah hebat sambil menarik-narik rambutku.
Akhirnya dengan perlahan-lahan kuturunkan celana beserta celana dalamnya hingga lepas. Kubuka resleting celanaku lalu kuturunkan celana dalamku sehingga menyembullah senjata yang dari tadi sudah mengeras itu.
Tangannya turut membimbing senjataku memasuki liang vaginanya, setelah masuk sebagian kusentakkan badanku ke depan sehingga dia menjerit kecil.
Aku mulai menggerakkan badanku maju mundur, semakin lama frekuensinya semakin cepat sehingga dia mengerang-erang keenakan, tanganku sibuk meremas-remas payudara montoknya, dan lidahku menjilati leher dan telinganya.
Aku terus mendesaknya dengan dorongan-dorongan badanku, hingga akhirnya aku merasakan tangannya yang melingkari leherku makin erat serta jepitan kedua pahanya mengencang.
Saat itu gerakanku makin kupercepat, erangannya pun bertambah dahsyat sampai diakhiri dengan jeritan kecil, bersamaan dengan itu kurasakan pula cairan hangat menyelubungi senjataku dan spermaku mulai mengalir di dalam rahimnya. Kami menikmati klimaks pertama ini dengan saling berpelukan dan bercumbu mesra.
Tiba-tihba terdengar suara kunci dibuka dan gagang pintu diputar, pintu pun terbuka, ternyata yang masuk adalah Pak Rendi, kepala karyawan gedung ini yang juga memegang kunci ruangan, orangnya berumur 50-an keatas, rambutnya sudah agak beruban, namun badannya masih gagah.
Kami kaget karena kehadirannya, aku segera menaikkan celanaku yang sudah merosot, Cicik berlindung di belakang badanku untuk menutupi tubuh telanjangnya.
«Wah, wah, wah saya pikir ada maling di sini, eh.. ternyata ada sepasang kekasih lagi berasik ria!» katanya sambil berkacak pinggang.
«Maaf Pak, kita memang salah, tolong Pak jangan bilang sama siapa-siapa tentang hal ini,» kataku terbata-bata.
«Hmmm… baik saya pasti akan jaga rahasia ini kok, asal…»
«Asal apa Pak?» tanyaku.
Orang tua itu menutup pintu dan berjalan mendekati kami.
«sal saya boleh ikut merasakan si Mak ini, he.. he… he…!» katanya sambil terus mendekati kami dengan senyum mengerikan.
«Jangan, Pak, jangan!»
Dengan wajah pucat Cicik berjalan mundur sambil menutupi dada dan kemaluannya untuk menghindar, namun dia terdesak di sudut ruangan.
Kesempatan itu segera dipakai Pak Rendi untuk mendekap tubuh Cicik. Dia langsung memegangi kedua pergelangan tangan Cicik dan mengangkatnya ke atas.
«Ahh.. jangan gitu Pak, lepasin saya atau… eeemmmhhh…!» belum sempat Cicik melanjutkan perkataannya, Pak Rendi sudah melumat bibirnya dengan ganas.
Sekarang Cicik sudah mulai berhenti meronta sehingga tangan Pak Rendi sudah mulai melepaskan pegangannya dan perlahan-lahan mulai turun ke payudara kanan Cicik lalu meremas-remasnya dengan gemas.
Entah mengapa daritadi aku hanya diam saja tanpa berbuat apa-apa selain bengong menonton adegan panas itu, sangat kontas nampaknya
Cicik yang berparas cantik itu sedang digerayangi oleh Pak Rendi yang tua dan bopengan itu, seperti beauty and the beast saja, dalam hati berkata, «Dasar bandot tua, sudah ganggu acara orang masih minta bagian pula.»
Ciuman Pak Rendi pada bibir Cicik kini mulai merambat turun ke lehernya, dijilatinya leher jenjang Cicik kemudian dia mulai menciumi payudara Cicik sambil tangannya mengobok-obok liang vagina Cicik.
Diperlakukan seperti itu Cicik sudah tidak bisa apa-apa lagi, hanya pasrah sambil mendesah-desah, «Pak… aaakhh.. jangan.. eeemmhh… sudah Pak!» Setelah puas «menyusu» Pak Rendi mulai menjelajahi tubuh bagian bawah Cicik dengan jilatan dan ciumannya.
Setelah mengambil posisi berjongkok Pak Rendi mengaitkan kaki kanan Cicik di bahunya dan mengarahkan mulutnya untuk mencium kemaluan yang sudah basah itu sambil sesekali menusukan jarinya.
Sementara Pak Rendi mengerjai bagian bawah, aku melumat bibirnya dan meremas buah dadanya yang montok itu, putingnya yang sudah tegang itu kupencet dan kupuntir.
Masih tampak jelas warna kemerahan bekas gigitan dan sisa-sisa ludah pada payudara kirinya yang tadi menjadi bulan-bulanan Pak Rendi. Tak lama kemudian kurasakan dia mencengkram lenganku dengan keras dan nafasnya makin memburu, ciumannya pun makin dalam.
Rupanya dia mencapai orgasme karena oral sexnya Pak Rendi dan kulihat Pak Rendi juga sedang asyik menghisap cairan yang keluar dari liang senggamanya sehingga membuat tubuh Cicik menegang beberapa saat dan dari mulutnya terdengar erangan-erangan yang terhambat oleh ciumanku. Cerita Sex Terlena Dosen Gantengku
Sekarang aku membuat posisi Cicik menungging di matras yang kugelar di lantai. Kesetubuhi dia dari belakang, sambil meremas-remas pantat dan payudaranya. Pak Rendi melepaskan pakaiannya hingga bugil, kemudian dia berlutut di depan wajah Cicik.
Tanpa diperintah Cicik segera meraih penis yang besar dan hitam itu, mula-mula dijilatinya benda itu, dikulumnya buah pelir itu sejenak lalu dimasukkannya benda itu ke mulutnya. Pak Rendi mendengus dan merem melek kenikmatan oleh kuluman Cicik, dia menjejali penis itu hingga masuk seluruhnya ke mulut Cicik.
Cicik pun agak kewalahan diserang dari 2 arah seperti ini. Beberapa saat kemudian Pak Rendi mengeluarkan geraman panjang, dia menahan kepala Cicik yang ingin mengeluarkan penisnya dari mulutnya, sementara aku makin mempercepat goyanganku dari belakang.
Tubuh Cicik mulai bergetar hebat karena sodokan-sodokanku dan juga karena Pak Rendi yang sudah klimaks menahan kepalanya dan menyeburkan spermanya di dalam mulut Cicik, sangat banyak sperma Pak Rendi yang tercurah sampai cairan putih itu meluap keluar membasahi bibirnya, jeritan klimaks Cicik tersumbat oleh penis Pak Rendi yang cukup besar sehingga dari mulutnya hanya terdengar, «Emmpphh.. mmm.. hmmpphh…» tangannya menggapai-gapai, dan matanya terbeliak-beliak nikmat.
Kemudian Pak Rendi melepas penisnya dari mulut Cicik, lalu dia berbaring telentang dan menyuruh Cicik memasukkan penis yang berdiri kokoh itu ke dalam vaginanya. Sesuai perintah Pak Rendi, dia menduduki dan memasukkan penis Pak Rendi, ekspresi kesakitan nampak pada wajahnya karena penis Pak Rendi yang besar tidak mudah memasuki liang vaginanya yang masih sempit, Pak Rendi meremas-remas susu Cicik yang sedang bergoyang di atas penisnya itu.
Aku lalu memintanya untuk membersihkan barangku yang sudah belepotan sperma dan cairan kemaluannya, ketika penisku sedang dijilati dan dikulum olehnya, kutarik ikat rambutnya hingga rambutnya tergerai bebas.
«Wah cantik banget si Mbak ini, mana memeknya masih sempit lagi, benar-benar beruntung saya malam ini,» kata Pak Rendi memuji Cicik. «Dasar muka nanas, kalo dia pacar gua udah gua hajar lo dari tadi!» gerutuku dalam hati.
Setelah penisku dibersihkan Cicik, kuatur posisinya tengkurap di atas Pak Rendi, dan kumasukkan penisku ke duburnya, sungguh sempit liang anusnya itu hingga dia menjerit histeris ketika aku berhasil menancapkan penisku di sana.
Kami bertiga lalu mengatur gerakan agar dapat serasi antara penis Pak Rendi di vaginanya dan penisku di anusnya. Aku menghujam-hujamkan penisku dengan ganas sambil meremas-remas payudara dan pantatnya juga sesekali kujilati lehernya.
Sementara Pak Rendi juga aktif memainkan payudara yang hanya beberapa sentimeter dari wajahnya itu. Tak lama kemudian Cicik menjerit keras, «Akkhh…!» tubuhnya menegang dan tersentak-sentak lalu terkulai lemah menelungkup, begitu tubuhnya rebah langsung disambut Pak Rendi dengan kuluman di bibirnya.
Aku dan Pak Rendi melepas penis kami dan berdiri di depan Cicik secara bergantian dia mengulum dan mengocok penis kami hingga sperma kami muncrat membasahi wajahnya.
Tubuh kami bertiga sudah bersimbah keringat dan benar-benar lelah, terutama Cicik, dia nampak sangat kelelahan setelah melayani 2 lelaki sekaligus. Sesudah beristirahat sejenak, kami berpakaian kembali.
Kami membuat kesepakatan dengan Pak Rendi untuk saling menjaga rahasia ini, Pak Rendi pun menyetujuinya dengan syarat Cicik mau melayaninya sekali lagi kapanpun bila dipanggil, meskipun mulanya dia agak ragu-ragu akhirnya disetujuinya juga. Kami yakin dia tidak berani kelewatan karena dia juga tidak ingin hal ini diketahui keluarganya.
Sejak itu kami semakin akrab dan sering melakukakan perbuatan itu lagi meskipun tidak sampai pacaran, karena kami sudah punya pacar masing-masing.